Demi Mengajar, Tiap Hari 6 Guru Lewati Bukit, Sawah, Kebun dan 3 Kali Seberangi Sungai

Guru SD Negeri Pojokklitih 3, Kecamatan Plandaan, Jombang, (dari kiri ke kanan) Sucipto, Laila Maulida, Trisno, dan Nurmala Sari, menyeberangi sungai untuk mengajar, Kamis (23/3/2017). (KOMPAS/Bahana Patria Gupta)
 
KOMPAS.com - Kabut dari perbukitan belum sepenuhnya hilang. Satu per satu guru SD Negeri Pojokklitih 3, Kecamatan Plandaan, Jombang, tiba di sebuah rumah warga di pinggir desa, Kamis (23/3/2017).
Tak lama, enam guru bersiap menuju tempat mengajar. Jaraknya memang hanya 3,5 kilometer. Namun, mereka harus melewati bukit, pematang sawah, kebun, dan tiga kali menyeberang sungai selebar 20 meter. Hal itu dilakukan agar 17 murid mereka bisa mendapat pendidikan.
Warga setempat menyebut sungai yang mereka seberangi sebagai Kali Beng. Beng diambil dari bahasa Jawa mubeng yang artinya berputar. Sungai musiman itu hanya dialiri air saat musim hujan. Di musim kemarau, guru-guru bisa melintasi dengan sepeda motor.
Setelah memastikan semua guru tiba, Purwandi (46), kepala sekolah, mencopot sepatu lalu melipat celana panjang sampai lutut, diikuti rekan guru lain, Agus Subekti (55), Trisno (54), dan Sucipto (36). Sementara dua guru perempuan, Laila Maulida (35) dan Nurmala Sari (26), mengganti rok dengan celana panjang.

Pada musim hujan, sepatu kerja tak banyak membantu untuk melintasi jalanan licin berlumpur. Demikian pula sandal jepit. Akhirnya, para guru lebih memilih berjalan telanjang kaki.
"Kami harus berangkat bersama-sama di musim hujan. Saat melewati sungai, harus ada teman yang mengecek pijakan yang akan dilewati. Selain arus deras, kedalaman sungai berbeda-beda," kata Agus di awal perjalanan.
Purwandi menceritakan pengalamannya tercebur di sungai, "Waktu itu saya mengenakan jas hujan, tidak mengikuti langkah teman di depan. Ada bagian sungai yang terlihat dangkal, namun saat saya injak ternyata dalam. Saya tercebur dan hampir tenggelam karena kesulitan berenang. Setelah jas hujan dibuka baru saya bisa berenang ke bagian dangkal."
Dalam perjalanan, Agus rajin mengingatkan teman-temannya untuk menghindari rerumputan di pinggir jalan setapak.

"Jangan ke pinggir, lho ya, banyak durinya," ujar Agus sambil menunjuk rumpun putri malu.
Meski cukup menguras tenaga dan harus waspada, suasana perjalanan riang gembira. Banyak lelucon terlontar di antara mereka.
Setelah melewati beberapa petak sawah dan kebun, perjalanan mereka sampai di tepi sungai pertama. Tampak riak air, tanda sungai berbatu dan berarus deras.

"Untung sudah surut. Dua hari lalu ketinggian mencapai 120 cm," kata Agus sambil menempelkan sisi tangan ke dada merujuk ketinggian air saat itu.

Dengan cekatan ia memimpin rombongan melewati sungai. Agus paham betul mana bagian sungai yang dangkal. Namun, bukan perkara mudah melewati bebatuan berselimut lumut. Beberapa guru hampir terpeleset akibat salah injak batu.
Sambil mencermati dasar sungai, Agus sampai ke ujung sungai disusul Sucipto, Nurmalasari, Purwandi, Laila Maulida, dan Trisno.