Kita yang entah bisa menjamah surga-Nya ataupun tidak, tapi setidaknya kita akan terus berharap dan berusaha yang terbaik dengan melakukan amal ibadah yang mana jika dilaksanakan dengan sungguh-sungguh maka bisa saja pahala akan mengalir deras dan menjadi bekal yang matang di akhirat nanti. Akan tetapi, berbicara mengenai -pahala, benarkah pahala kita sudah menumpuk banyak dan cukup untuk dijadikan tiket ke surga?
Layaknya pada sebuah kisah, jika semisal saja pahala itu bisa dijual, maka berapakah kiranya ia laku? Atau jangan-jangan hanya sekelumit itu saja mengingat banyaknya dosa dan keburukan manusia itu sendiri.
Layaknya pada sebuah kisah, jika semisal saja pahala itu bisa dijual, maka berapakah kiranya ia laku? Atau jangan-jangan hanya sekelumit itu saja mengingat banyaknya dosa dan keburukan manusia itu sendiri.
Dalam penaklukan Amoria yang berada dalam kekuasaan Romawi, Ya’kub bin Ja’far berhasil membidik salah satu musuh terbesar kaum Muslimin lantaran kesukaannya menghina Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam. Sebelum itu, banyak kaum Muslimin yang mencoba membidikkan busur ke orang tersebut, namun selalu gagal.
Tapi Ya’kub bin Ja’far berhasil melakukannya dalam sekali bidikan, atas izin Allah Ta’ala. Seketika melihat laki-laki penghina Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam tersungkur ke tanah, gemuruh takbir kaum Muslimin membahana. Tak kuasa dibendung.
“Aku harus bertemu dengan pemanah terebut.” seru Khalifah Mu’tashim yang terkenal dengan pembelaannya kepada rakyat jelata.
Segera saja, para jenderal dan panglima memerintahkan utusannya untuk membawa Ya’kub bin Ja’far menghadap kepada sang Khalifah.
“Siapakah engkau?” tanya Mu’tashim kepada Ya’kub bin Ja’far.
Ya’kub memberitahukan namanya. Lengkap dengan urutan nasabnya. Mendengar penuturan Ja’far sang pemanah, Khalifah Mu’tashim berkata, “Segala puji bagi Allah Ta’ala yang menjadikan pahala panahan ini untuk salah satu sanak familiku.”
Lanjutnya meminta kepada Ya’kub bin Ja’far, “Jual-lah pahala panahanmu untukku.”
Tidak tergiur sedikit pun, Ya’kub sang pemanah menjawab, “Wahai Khalifah, pahala itu bukan untuk diperjual belikan.”
Sang Khlaifah lalu memerintahkan stafnya untuk menyodorkan uang tunai senilai seratus ribu dirham perak. “Aku hanya memotivasimu.” ujar Mu’tashim.
“Aku tidak menjualnya.” seru Ya’kub semakin tegas.
Namun, Mu’tashim justru menambahkan lima ratus ribu dirham perak hingga jumlahnya menjadi enam ratus ribu dirham perak.
“Aku,” tegas Ya’kub, “tidak akan menjual pahala panahanku, meski dengan dunia seisinya.”
Tapi Ya’kub bin Ja’far berhasil melakukannya dalam sekali bidikan, atas izin Allah Ta’ala. Seketika melihat laki-laki penghina Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam tersungkur ke tanah, gemuruh takbir kaum Muslimin membahana. Tak kuasa dibendung.
“Aku harus bertemu dengan pemanah terebut.” seru Khalifah Mu’tashim yang terkenal dengan pembelaannya kepada rakyat jelata.
Segera saja, para jenderal dan panglima memerintahkan utusannya untuk membawa Ya’kub bin Ja’far menghadap kepada sang Khalifah.
“Siapakah engkau?” tanya Mu’tashim kepada Ya’kub bin Ja’far.
Ya’kub memberitahukan namanya. Lengkap dengan urutan nasabnya. Mendengar penuturan Ja’far sang pemanah, Khalifah Mu’tashim berkata, “Segala puji bagi Allah Ta’ala yang menjadikan pahala panahan ini untuk salah satu sanak familiku.”
Lanjutnya meminta kepada Ya’kub bin Ja’far, “Jual-lah pahala panahanmu untukku.”
Tidak tergiur sedikit pun, Ya’kub sang pemanah menjawab, “Wahai Khalifah, pahala itu bukan untuk diperjual belikan.”
Sang Khlaifah lalu memerintahkan stafnya untuk menyodorkan uang tunai senilai seratus ribu dirham perak. “Aku hanya memotivasimu.” ujar Mu’tashim.
“Aku tidak menjualnya.” seru Ya’kub semakin tegas.
Namun, Mu’tashim justru menambahkan lima ratus ribu dirham perak hingga jumlahnya menjadi enam ratus ribu dirham perak.
“Aku,” tegas Ya’kub, “tidak akan menjual pahala panahanku, meski dengan dunia seisinya.”
“Namun, aku akan membagi setengahnya untukmu secara cuma-cuma. Allah Ta’ala yang menjadi saksi.” lanjut Ya’kub yang disambut dengan wajah bahagia dari Sang Mu’tashim.
“Dimana engkau belajar memanah?” tanya Khalifah.
“Di Bashrah. Aku belajar sendiri.” ujar Ya’kub.
“Jika demikian, jual-lah panahmu kepadaku.” pinta Sang Khalifah.
“Tidak usah. Aku akan mewakafkannya kepada siapa pun yang mau belajar memanah.” pungkas Ya’kub sang pemanah mengakhiri perbincangan.
Di akhir pertemuan, Khalifah Mu’tashim memberikan uang sejumlah seratus ribu dirham sebagai hadiah kepada Ya’kub sang pemanah.
Kisah ini semoga semakin memotivasi kita untuk berburu amal shalih. Ada rasa iri yang seharusnya terbit, sebab Sang Khalifah yang memperhatikan kaum Muslimin tentu memiliki pahala yang banyak. Tapi, beliau masih haus pahala hingga berniat membeli pahala orang lain.
Sedangkan orang yang hendak dibeli pahalanya dengan tegas mempertahankannya. Lantas memberikannya secara cuma-cuma dengan mengharap Ridha Allah Ta’ala. Oleh karena, Mari menunduk sembari merenung, “Andai pahala kita dijual, adakah ia laku? Kira-kira, berapa harganya?” Jangan-jangan… Wallahu a’lam.