Hakim Ketua Dwiarso Budi Santiarto (tengah)
Rasanya sulit dipercaya, tetapi begitulah faktanya. Setiap hari, dari rumah ke kantor, pulang-pergi, ia naik angkutan umum Transjakarta. Itulah hakim H Dwiarso Budi, ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang memimpin majelis hakim sidang perkara penistaan agama oleh Gubernur DKI nonaktif Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok. Sidang ini telah dimulai dari Selasa (13/12/2016) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jalan Gajahmada, Jakarta.
Di mata kawan-kawannya, ia dijuluki bonek (bondo nekat). Bukan hanya karena kelahiran Surabaya. Namun, julukan itu menunjuk pada integritasnya sebagai hakim. "Antisuap, antigertak," kata seorang sahabatnya.
Lahir di Surabaya, 14 Maret 1962, Inoenk, begitu panggilan akrab H Dwiarso Budi Santiarto SH Mhum, sampai sekarang pun masih tinggal di rumah dinas. Suami Yanti SH MH (teman kuliah) dan ayah dua anak, Rio dan Anya ini pernah menjadi ketua pengadilan di Kotabumi, Kraksaan, Depok, Banjarmasin, dan Semarang.
Putranya, Rio (S-1 ITB dan S-2 UI), saat ini tinggal di Jepang bekerja sebagai pelayan toko. Sedangkan, Anya (Hukum Unpar) bekerja sebagai pegawai pajak di Palangka Raya. Ada kisah menarik dari putra-putri Inoenk ketika terjadi penangkapan terhadap Ketua Mahkamah Konstitus Akil Mochtar tempo hari. Kompak mereka meminta Inoenk berhenti jadi hakim karena merasa malu dengan profesi ayahnya. Juga kompak berdua menyatakan biarlah mereka yang bekerja untuk menopang ekonomi orang tuanya.
Sarjana hukum jebolan S-I Universitas Airlangga dan S-2 Universitas Gadjah Mada serta terakhir Lemhanas (2016) ini adalah mantan atlet hoki PON Jatim dan atlet tenis mewakili provinsi di mana dia bertugas waktu itu.
Memutus seumur hidup koruptor BLBI
Mantan asisten/sekretaris Mahkamah Agung ini sewaktu bertugas sebagai hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutus hukuman seumur hidup untuk koruptor BLBI. Bahkan, waktu bertugas di Semarang, Inoenk juga memutus sengketa gubernur Jateng lawan pengacara kondang Yusril dengan menghukum hakim temannya sendiri karena menerima suap dan beberapa koruptor serta pejabat bupati Karang Anyar.
Keberaniannya untuk berbeda dengan alasan hukum yang rasional itulah yang membuat Ketua Mahkamah Agung Marsekal Sarwata sangat membanggakannya. Dosen favorit Fakultas Hukum Universitas Trisakti itu kini menjadi tempat bergantung harapan keputusan adil dari persidangan kasus penistaan agama Ahok. Sekian lama, ia memang menjadi gantungan harapan para penuntut keadilan yang mengharapkan vonisnya terhadap Ahok terbebas dari pelbagai intervensi supaya wajah hukum kita mendapat kepercayaan publik.
Selasa (9/5) siang, akhirnya, ia membuktikan dirinya memang hakim yang berintegritas tinggi. Meskipun sempat dibayangi spekulasi, dia juga akan dilumat pelbagai manuver, seperti aparat penegak hukum lainnya yang masuk angin. Vonisnya, Ahok terbukti bersalah dan dihukum penjara dua tahun yang langsung ditahan di LP Cipinang.
Rasanya sulit dipercaya, tetapi begitulah faktanya. Setiap hari, dari rumah ke kantor, pulang-pergi, ia naik angkutan umum Transjakarta. Itulah hakim H Dwiarso Budi, ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang memimpin majelis hakim sidang perkara penistaan agama oleh Gubernur DKI nonaktif Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok. Sidang ini telah dimulai dari Selasa (13/12/2016) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jalan Gajahmada, Jakarta.
Di mata kawan-kawannya, ia dijuluki bonek (bondo nekat). Bukan hanya karena kelahiran Surabaya. Namun, julukan itu menunjuk pada integritasnya sebagai hakim. "Antisuap, antigertak," kata seorang sahabatnya.
Lahir di Surabaya, 14 Maret 1962, Inoenk, begitu panggilan akrab H Dwiarso Budi Santiarto SH Mhum, sampai sekarang pun masih tinggal di rumah dinas. Suami Yanti SH MH (teman kuliah) dan ayah dua anak, Rio dan Anya ini pernah menjadi ketua pengadilan di Kotabumi, Kraksaan, Depok, Banjarmasin, dan Semarang.
Putranya, Rio (S-1 ITB dan S-2 UI), saat ini tinggal di Jepang bekerja sebagai pelayan toko. Sedangkan, Anya (Hukum Unpar) bekerja sebagai pegawai pajak di Palangka Raya. Ada kisah menarik dari putra-putri Inoenk ketika terjadi penangkapan terhadap Ketua Mahkamah Konstitus Akil Mochtar tempo hari. Kompak mereka meminta Inoenk berhenti jadi hakim karena merasa malu dengan profesi ayahnya. Juga kompak berdua menyatakan biarlah mereka yang bekerja untuk menopang ekonomi orang tuanya.
Sarjana hukum jebolan S-I Universitas Airlangga dan S-2 Universitas Gadjah Mada serta terakhir Lemhanas (2016) ini adalah mantan atlet hoki PON Jatim dan atlet tenis mewakili provinsi di mana dia bertugas waktu itu.
Memutus seumur hidup koruptor BLBI
Mantan asisten/sekretaris Mahkamah Agung ini sewaktu bertugas sebagai hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutus hukuman seumur hidup untuk koruptor BLBI. Bahkan, waktu bertugas di Semarang, Inoenk juga memutus sengketa gubernur Jateng lawan pengacara kondang Yusril dengan menghukum hakim temannya sendiri karena menerima suap dan beberapa koruptor serta pejabat bupati Karang Anyar.
Keberaniannya untuk berbeda dengan alasan hukum yang rasional itulah yang membuat Ketua Mahkamah Agung Marsekal Sarwata sangat membanggakannya. Dosen favorit Fakultas Hukum Universitas Trisakti itu kini menjadi tempat bergantung harapan keputusan adil dari persidangan kasus penistaan agama Ahok. Sekian lama, ia memang menjadi gantungan harapan para penuntut keadilan yang mengharapkan vonisnya terhadap Ahok terbebas dari pelbagai intervensi supaya wajah hukum kita mendapat kepercayaan publik.
Selasa (9/5) siang, akhirnya, ia membuktikan dirinya memang hakim yang berintegritas tinggi. Meskipun sempat dibayangi spekulasi, dia juga akan dilumat pelbagai manuver, seperti aparat penegak hukum lainnya yang masuk angin. Vonisnya, Ahok terbukti bersalah dan dihukum penjara dua tahun yang langsung ditahan di LP Cipinang.