Ini terjadi di LUAR NEGERI ya mudah-mudah di daerah anda tidak ada. Di acara pernikahan di Maroko sana. Biasanya tuan rumah menyuruh qori' datang untuk membacakan ayat suci Al Qur'an sebelum acara dimulai atau menerima mantu.
Pada saat para qori' datang ke acara pernikahan, pertama kali yang tampak dari mereka adalah meminta upah dan mengumpulkan sedekah dari orang-orang agar orang-orang itu mengambil berkah dari mereka.
Kemudian para qari’ itu mendoakan mereka, bapak-bapak mereka yang telah meninggal, dan mendoakan orang yang bersedekah kepada mereka agar mereka sukses, mendapatkan pertolongan, dan lain sebagainya.
Setelah mereka mengumpulkan sedekah itu, kemudian membagi-bagikannya di antara mereka sendiri, dan tidak ada seorang fakir miskin pun yang menerima bagian dari sedekah itu.
Yang menjadi pertanyaan adalah bolehkan menjadikan bacaan Al Qur'an sebagai mata pencaharian?
Apakah hukum syariat Islam dalam hal sedekah yang mereka kumpulkan kemudian mereka bagikan di antara mereka itu?
Mengutip solusiislam.wordpress.com, Rasulullah pernah bersabda mengenai hal ini:
“Barang siapa yang memakai Al Qur’an untuk mengais rezeki, maka dia akan datang pada hari kiamat dengan wajah tulang”, artinya: wajah yang tidak berdaging. Apakah hadis ini sahih atau tidak?
قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ
“Katakanlah (Muhammad), Aku tidak meminta imbalan sedikit pun kepadamu atasnya (dakwahku); dan aku bukanlah termasuk orang yang mengada-ada.” [QS. Shad: 86]
Sebelumnya marilah shalawat dan salam kita tujukkan kepada Rasulullah SAW, keluarganya dan sahabat-sahabatnya.
Pertama, Pembacaan Al Qur’an adalah murni ibadah dan salah satu cara pendekatan hamba kepada Tuhannya. Hukum asal pembacaan Al Qur’an dan ibadah-ibadah murni yang sejenisnya adalah hendaknya seorang Muslim melakukannya dengan tujuan untuk mendapatkan keridaan Allah dan memohon pahala dari sisi-Nya, sehingga makhluk tidak mengharapkan darinya satu imbalan atau ucapan terima kasih.
Maka dari itu para salaf tidak mengenal adanya menyewa orang untuk membaca Al Qur’an dalam pesta atau acara pernikahan, dan tidak pernah diriwayatkan dari seorang imam pun bahwa dia telah menyuruh atau memberi keringanan untuk melakukan hal itu. Dan tidak pernah diketahui pula dari salah satu imam itu bahwa dia pernah mengambil upah dari membaca Al Qur’an, baik di pesta atau upacara-upacara lain, tetapi mereka membaca Al Qur’an dengan mengharapkan apa yang ada di sisi Allah subhaanahu wa ta’ala.
Nabi Muhammad shollolloohu ‘alayhi wasallam telah menyuruh orang yang membaca Al Qur’aan untuk memohon kepada Allah dengan bacaannya itu, dan memperingatkan untuk tidak meminta kepada manusia. Imam Tirmidzi meriwayatkan dalam Sunannya dari Imran bin Hushain bahwa dia berjalan melewati seorang sedang membaca. Kemudian dia bertanya, maka dia mengingat dan berkata: Aku mendengar Rasulullah shollolloohu ‘alayhi wasallam. bersabda:
“Barang siapa yang membaca Al Qur’an, maka hendaklah dia memohon kepada Allah dengan Al Qur’an itu, karena suatu saat akan datang kaum-kaum yang membaca Al Qur’an, dan mereka meminta kepada manusia dengan Al Qur’an itu”
Sedangkan mengambil upah dari mengajarnya atau menjadikannya jampi (obat-red) dan sejenisnya yang mana manfaatnya dirasakan oleh selain orang yang membaca, hadis-hadis yang sahih telah menyatakan kebolehannya. Seperti hadis Abu Sa’id bahwa dia mengambil segerombolan domba sebagai upah atas penyembuhan seseorang yang dilakukannya dengan surat Al-Fatihah sebagai jampinya.
Dan juga hadis Sahl, “Nabi menikahkan seorang wanita dengan lelaki dengan mahar ajaran Al Qur’an kepada istrinya”
Barang siapa yang mengambil upah dari bacaan Al Qur’aannya atau menyewa orang untuk membaca Al Qur’aan, maka dia telah melanggar dari apa yang telah disepakati oleh para salaf radhiAllahu ‘anhuma.
Kedua, Al-Qur’an adalah firman Allah subhaanahu wa Ta’ ala. Keutamaannya dari perkataan makhluk adalah seperti keutamaan Allah dari hamba-hambanya. Al Qur’an adalah zikir yang paling baik dan paling utama. Maka pembacanya harus beradab dalam membaca, khusyuk, mengikhlaskan hatinya untuk Allah, teliti dalam bacaannya, merenungi makna-maknanya sesuai dengan kemampuannya, tidak sibuk dengan yang lain, tidak terbebani dan tidak membaca dengan suara gurau, serta tidak mengangkat suaranya di luar kebutuhan.
Orang yang hadir dalam suatu perkumpulan yang mana di dalamnya terdapat pembacaan Al Qur’an harus mendengarkan bacaan itu dan merenungkan makna-maknanya. Tidak bermain-main dan tidak pula sibuk berbicara dengan orang lain serta tidak mengganggu qari’ atau para hadirin. Alloh Subhaanahu Wa Ta’ ala. berfirman:
… وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا
“… dan bacalah Al Qur’an itu dengan perlahan-lahan” [QS. Al-Muzzammil : 4]
وَاذْكُر رَّبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ وَلَا تَكُن مِّنَ الْغَافِلِينَ
“Dan ingatlah Tuhanmu dalam hatimu dengan rendah hati dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, pada waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lengah.” [QS. Al-A’raaf : 205]
Ketiga, Manusia sangat berbeda-beda dalam pemahaman dan pemikiran mereka. Setiap orang dibebani untuk mengetahui agama dan hukum-hukum syariat sesuai dengan pemahaman dan waktu yang diberikan oleh Allah, agar dia melakukannya dan memberi petunjuk kepada orang lain untuk melakukannya.
Di antara yang pertama kali harus dia pahami dan berikan perhatiannya kepadanya serta persiapkan hatinya adalah Kitab Allah Subhaanahu Wa Ta’ ala.
Apabila mereka tidak mampu memahaminya sendiri, maka harus meminta pertolongan kepada Allah, kemudian kepada para ulama sesuai dengan kemampuannya, kemudian apabila hal itu telah dilakukannya semua, maka dia sudah terbebas dari beban.
Sesungguhnya Allah tidak membebani jiwa, kecuali sesuai dengan kemampuannya. Ketidakmampuan untuk memahami Al Qur’an tidak menghalangi manusia untuk membaca Al Qur’an setelah dia berusaha semampunya, dan hal itu bukanlah sesuatu yang tercela, berdasarkan kepada hadits Rasulullah shollolloohu ‘alayhi wasallam. beliau bersabda:
“Orang yang pandai membaca Al Qur’an akan bersama para rasul yang mulia dan taat. Adapun orang yang membaca Al Qur’an dengan tersendat-sendat karena sulit baginya membaca Al Qur’an, maka ia mendapat dua pahala”
Keempat, Orang yang fakir dibolehkan untuk mengambil sedekah guna menutupi kebutuhannya dan kebutuhan orang yang ada dalam asuhannya. Disunahkan baginya untuk mendoakan orang yang bersedekah kepadanya dengan doa yang baik.
Sedangkan mengambil harta sebagai upah dari bacaan Al-Qur’annya atau karena dia telah memberikan nasihat dan memperingatkan orang lain, serta memberikan harta kepada orang untuk mengharapkan berkahnya, atau mengumpulkan orang untuk memohon berkah mereka dan meminta doa mereka maka hal ini semua adalah DILARANG, dan bukan termasuk dalam petunjuk yang diterima kaum Muslimin pada tiga abad pertama, yang disaksikan oleh Rasulullah sebagai abad-abad terbaik.
Kelima, Makna firman Alloh:
قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ
“Katakanlah (Muhammad), Aku tidak meminta imbalan sedikit pun kepadamu atasnya (dakwahku); dan aku bukanlah termasuk orang yang mengada-ada.” [QS. Shad: 86]
Adalah bahwa Alloh Subhaanahu Wa Ta’ ala. memerintahkan Rasul-Nya Muhammad shollolloohu ‘alayhi wasallam. untuk memberitahukan kepada kaumnya bahwa dia tidak meminta upah dari mereka atas penyampaian apa-apa yang diturunkan dari Tuhannya kepadanya dan juga atas dakwahnya kepada mereka menuju ketauhidan yang murni dan penyampaiannya hukum-hukum Islam.
Dia menyampaikan dan menjelaskan kepada mereka untuk melaksanakan perintah Allah dan sebagai wujud ketaatannya kepada Allah untuk memperoleh keridaannya semata dan untuk mengharapkan pahala dan ganjaran yang mulia dari-Nya.
Itu semua adalah untuk menghilangkan prasangka-prasangka bohong yang mungkin ada pada diri orang-orang musyrik yang menyatakan bahwa Rasulullah shollolloohu ‘alayhi wasallam. berdakwah kepada mereka untuk mengikutinya kepada apa yang disyariatkan Allah dengan tujuan untuk mendapatkan upah darinya atau untuk mendapatkan kekuasaan di kalangan kaumnya.
Maka dari itu, dia menjelaskan kepada mereka bahwa dakwahnya kepada kebenaran yang ditujukan untuk mereka adalah semata-mata untuk Allah Subhaanahu Wa Ta’ ala.
Demikian pula semua rasul-rasul alayhimassalam, mereka tidak meminta upah kepada manusia atas dakwah yang mereka lakukan. Dan telah dijelaskan pada bagian pertama dari jawaban ini, yaitu hadis Imran bin Hushain tentang peringatan untuk mengambil dan meminta imbalan dari orang lain dengan bacaan Al Qur’an.
Mengenai hukuman pada hari kiamat dengan rontoknya daging wajahnya, itu adalah merupakan ancaman bagi siapa yang minta-minta kepada orang lain, sedangkan dia tidak memiliki kebutuhan yang memaksanya untuk meminta atau alasan yang membolehkannya untuk meminta pada orang lain, baik dengan bacaan Al Qur’an atau pun tidak.
Dari Abdullah bin Umar radhiAllahu ‘ anhu. berkata: Rasulullah shollolloohu ‘alayhi wasallam. bersabda:
“(Masih saja seorang di antara kalian meminta-minta sampai ia menghadap Allah, dengan wajah tidak berdaging (karena hinanya). Dan dalam riwayat lain darinya: Seorang laki-laki masih meminta pada manusia sampai datangnya hari kiamat dan tidak ada daging di wajahnya” [Disepakati oleh Bukhari dan Muslim]
Dari Abu Hurairah radhiAllahu ‘anhu. bahwa Rasulullah shollolloohu ‘alayhi wasallam bersabda,
“Barang siapa yang meminta kepada orang lain harta mereka untuk menambah hartanya, sesungguhnya dia meminta bara, maka hendaknya dia mengurangi atau memperbanyak”
Barang siapa yang meminta orang lain dengan Al Qur’an dan dia dalam keadaan miskin, maka telah diterangkan dalam hadis pada alinea pertama, sedangkan apabila dia kaya, maka sebenarnya hadis-hadis ini adalah benar.
Sedangkan lafal hadis “Barang siapa yang memakai Al Qur’an untuk mengais rezeki, maka dia akan datang pada hari kiamat dengan wajah tulang”, artinya: wajah yang tidak berdaging, tidak diketahui kebenarannya dengan lafal seperti itu.
Taufik hanyalah dari Allah. Shalawat serta salam ditujukan kepada Nabi kita Muhammad shollolloohu ‘alayhi wasallam, keluarganya dan sahabat-sahabatnya.